Source:kompasiana.com
Kasus suap merupakan salah satu tindak pidana korupsi yang marak terjadi di Indonesia. Tidak hanya dalam lingkup pemerintahan, akan tetapi juga korporasi. Dilansir dari detiknews.com, beberapa contoh korporasi yang tersorot media akibat kasus suap, antara lain Perum Perikanan Indonesia (Perindo) yang jumlahnya mencapai 30 ribu dolar AS, kasus suap pada sejumlah pejabat PT Garuda terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce hingga sejumlah Rp 100 miliar, hingga kasus suap migas Pertamina Energy Services (PES) Pte. Limited yang disinyalir bernilai hingga 2,9 juta dolar AS dari Kernel Oil terkait kegiatan perdagangan minyak mentah kepada PES di Singapura. Fakta ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), dari 271 kasus yang berhasil ditindak pada tahun 2019, terdapat 51 kasus modus suap dengan nilai sebesar Rp. 169,5 miliar. Angka ini merupakan jumlah tertiinggi daripada kasus dengan modus lainnya, seperti pencucian uang yang hanya mencapai Rp. 46 miliar, mark up sebanyak 41 kasus mencapai Rp. 173 miliar, dan penyalahgunaan wewenang sebanyak 30 kasus mencapai Rp. 63 triliun. Berdasarkan data tersebut, bisa disimpulkan bahwa suap menjadi modus paling dominan yang dilakukan para tersangka tindak pidana korupsi.
Tingginya kasus suap di korporasi Indonesia disebabkan
oleh beberapa faktor. Pertama, rendahnya
regulasi terkait sanksi yang dikenakan terhadap pelaku suap. Hal ini menjadikan
Praktik suap terus menjamur sepanjang tahun. Dikutip dari Jurnal Ilmu Hukum
Universitas Padjajaran (2017), sanksi bagi korporasi yang melakukan suap hanya
berupa denda dengan formulasi yang belum mencerminkan nilai keadilan dan belum
mampu mensubtitusi kerugian negara. Pernyataan ini diperkuat dengan Pasal 20
ayat 7 UU Tipikor yang menyatakan bahwa pidana pokok yang dijatuhkan kepada
korporasi hanyalah pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3
(sepertiga). Selanjutnya pada pasal 20 ayat 1 juga menyatakan ada kemungkinan
penjeratan pidana bagi korporasi pelaku. Ayat ini membuka pilihan bagi
penuntutan dan penjatuhan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi, antara lain pertama pengurusnya saja, kedua korporasinya saja,
ketiga pengurus dan korporasinya. Tentu regulasi terkait sanksi terhadap pelaku
suap korporasi perlu ditegakkan dengan lebih tegas dan cukup memberikan efek
jera bagi pelakunya.
Dilansir dari detiknews.com, padahal jika ditelusuri,
kasus suap korporasi berakibat pada meroketnya harga produk menjadi jauh lebih
tinggi berkali-kali lipat dari harga sebenarnya. Meningkatnya harga-harga
produk ini disebabkan adanya biaya-biaya bisnis tidak relevan yang dikeluarkan
oleh para pelaku suap. Fatalnya, peningkatan harga tersebut tidak diiringi
dengan perbaikan kualitas terhadap produk.
Oleh karena itu, pemerintah sebagai pembuat keputusan
dan pemangku kebijakan, sangat perlu mempertegas sanksi terhadap para pelaku
suap dan tindak pidana korupsi di berbagai lini. Tidak hanya dalam lingkup
korporasi, akan tetapi juga pemerintahan karena keduanya saling berkaitan.
Diperlukan adanya regulasi-regulasi mengenai etika bisnis yang lebih ketat yang
sekiranya mampu mempersempit peluang terjadinya kasus suap tersebut.
Penyelidikan secara berkala juga penting dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan
(BPK), KPK, dan lembaga pendukung lainnya, sehingga kasus bisa dapat diketahui
lebih cepat serta tidak merugikan negara terlalu besar. Karena salah satu
kriteria Good Governance pada perusahaan yang menciptakan lingkungan bisnis
yang sehat adalah adanya transaparansi dan terbebas dari tindak kecurangan
korupsi, kolusi, dan nepotisme.