Rabu, 20 Januari 2021

Budaya Suap : Pratik Pelanggaran Etika Bisnis yang Sudah ‘Mendarah Daging’ di Lingkup Korporasi Indonesia


Source:kompasiana.com 

        Kasus suap merupakan salah satu tindak pidana korupsi yang marak terjadi di Indonesia. Tidak hanya dalam lingkup pemerintahan, akan tetapi juga korporasi. Dilansir dari detiknews.com, beberapa contoh korporasi yang tersorot media akibat kasus suap, antara lain Perum Perikanan Indonesia (Perindo) yang jumlahnya mencapai 30 ribu dolar AS, kasus suap pada sejumlah pejabat PT Garuda terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce hingga sejumlah Rp 100 miliar, hingga kasus suap migas Pertamina Energy Services (PES) Pte. Limited yang disinyalir bernilai hingga 2,9 juta dolar AS dari Kernel Oil terkait kegiatan perdagangan minyak mentah kepada PES di Singapura. Fakta ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), dari 271 kasus yang berhasil ditindak pada tahun 2019, terdapat 51 kasus modus suap dengan nilai sebesar Rp. 169,5 miliar. Angka ini merupakan jumlah tertiinggi daripada kasus dengan modus lainnya, seperti pencucian uang yang hanya mencapai Rp. 46 miliar, mark up sebanyak 41 kasus mencapai Rp. 173 miliar, dan penyalahgunaan wewenang sebanyak 30 kasus mencapai Rp. 63 triliun. Berdasarkan data tersebut, bisa disimpulkan bahwa suap menjadi modus paling dominan yang dilakukan para tersangka tindak pidana korupsi.

        Tingginya kasus suap di korporasi Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,  rendahnya regulasi terkait sanksi yang dikenakan terhadap pelaku suap. Hal ini menjadikan Praktik suap terus menjamur sepanjang tahun. Dikutip dari Jurnal Ilmu Hukum Universitas Padjajaran (2017), sanksi bagi korporasi yang melakukan suap hanya berupa denda dengan formulasi yang belum mencerminkan nilai keadilan dan belum mampu mensubtitusi kerugian negara. Pernyataan ini diperkuat dengan Pasal 20 ayat 7 UU Tipikor yang menyatakan bahwa pidana pokok yang dijatuhkan kepada korporasi hanyalah pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (sepertiga). Selanjutnya pada pasal 20 ayat 1 juga menyatakan ada kemungkinan penjeratan pidana bagi korporasi pelaku. Ayat ini membuka pilihan bagi penuntutan dan penjatuhan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, antara lain pertama pengurusnya saja, kedua korporasinya saja, ketiga pengurus dan korporasinya. Tentu regulasi terkait sanksi terhadap pelaku suap korporasi perlu ditegakkan dengan lebih tegas dan cukup memberikan efek jera bagi pelakunya.

      Faktor kedua yaitu lemahnya penegakan etika bisnis dalam lingkup korporasi Indonesia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Adiwara Karim, anggota Dewan Syariah Nasional MUI, menyatakan bahwa Suap termasuk dalam kasus pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dalam etika bisnis. Adapun prinsip-prinsip yang dilanggar, antara lain kejujuran, rendah hati, simpatik dan kecerdasan. Padahal jika ditelusuri, para pelaku suap sebagian besar dari golongan intelektual dan professional yang sudah paham mengenai sanksi dan dampak buruk dari praktik tersebut. Akan tetapi, rendahnya attitude untuk mematuhi dan mengimplementasikan etika bisnis mendorong mereka mengabaikan prinsip-prinsip yang seharusnya dipegang teguh. Mereka mengandalkan ego demi meraup kepentingan material dengan menghalalkan berbagai cara. Dalam praktiknya, suap memang memberikan benefit yang cukup besar bagi keberlangsungan korporasi. Bahkan suap sudah diyakini menjadi strategi dan budaya sebagian besar korporasi untuk mencapai kepentingan perusahaan sendiri. Mulai dari memaksimalkan profit dan mendorong perusahaan agar mampu bertahan dalam persaingan global, hingga memudahkan berjalannya proyek-proyek bisnis mereka dalam hal perizinan yang rumit dan transaksi bisnis illegal. Selain itu, Suap juga dianggap sebagai jurus ampuh untuk mempengaruhi para pengambil keputusan dan mempercepat transaksi bisnis agar proyek meningkat secara signifikan. Pada akhirnya, pelanggaran etika bisnis melalui praktik suap yang telah lama dan akan terus terjadi demi memenuhi tujuan bisnis yaitu meraup keuntungan bisnis yang sebesar-besarnya.

        Dilansir dari detiknews.com, padahal jika ditelusuri, kasus suap korporasi berakibat pada meroketnya harga produk menjadi jauh lebih tinggi berkali-kali lipat dari harga sebenarnya. Meningkatnya harga-harga produk ini disebabkan adanya biaya-biaya bisnis tidak relevan yang dikeluarkan oleh para pelaku suap. Fatalnya, peningkatan harga tersebut tidak diiringi dengan perbaikan kualitas terhadap produk.

     Oleh karena itu, pemerintah sebagai pembuat keputusan dan pemangku kebijakan, sangat perlu mempertegas sanksi terhadap para pelaku suap dan tindak pidana korupsi di berbagai lini. Tidak hanya dalam lingkup korporasi, akan tetapi juga pemerintahan karena keduanya saling berkaitan. Diperlukan adanya regulasi-regulasi mengenai etika bisnis yang lebih ketat yang sekiranya mampu mempersempit peluang terjadinya kasus suap tersebut. Penyelidikan secara berkala juga penting dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK), KPK, dan lembaga pendukung lainnya, sehingga kasus bisa dapat diketahui lebih cepat serta tidak merugikan negara terlalu besar. Karena salah satu kriteria Good Governance pada perusahaan yang menciptakan lingkungan bisnis yang sehat adalah adanya transaparansi dan terbebas dari tindak kecurangan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

 

 

 


Previous Post
Next Post

post written by:

0 Comments: